Sherlock Holmes: the games of shadows


Film yang diangkat dari tokoh detektif ternama ciptaan Sir Arthur Conan Doyle ini masih ditangani oleh sutradara yang sama. Pemerannya pun masih orang yang sama. Gw pertama nonton film pertama “Sherlock Holmes”-nya Guy Ritchie ini sekitar dua tahun yang lalu. Seketika gw awaredengan gaya-gaya sinematografi khas dalam film ini. Di sekuelnya yang berjudul “Sherlock Holmes: A Game of Shadows” ini, ciri tersebut masih dipertahankan.

Mari kita berbincang tentang plotnya dulu. Kali ini, Holmes (diperankan oleh Robert Downey Jr.) dan rekannya Dr. Watson (diperankan oleh Jude Law) berpacu dengan waktu melawan
sang “musuh abadi” (versi novel), yakni Prof. James Moriarty (diperankan oleh Jared Harris). Itulah inti film ini. Detil kisahnya bisa lo tonton sendiri supaya excitement lo dalam nonton film ini ga berkurang. Di sini, Noomi Rapace ikut andil berperan sebagai Madam Simza, seorang gypsy yang membantu Holmes dan Watson melawan Moriarty. Sebelumnya, gw pertama tau tentang Noomi Rapace ketikabooming remake “The Girl with The Dragon Tattoo” oleh David Fincher, di mana di “The Girl with The Dragon Tattoo” versi sebelumnya, Rapace bermain. Dan karena gw belum pernah nonton “The Girl with The Dragon Tattoo” versi awal, bisa dibilang ini pertama kalinya gw meet-up dengan gaya akting Rapace.

Sebenarnya, me-review film ini tuh lebih asyik dilakukan dengan memperhatikan gaya penceritaan, efek, dan sinematografinya, tapi oke gw sempatkan sedikit untuk berbicara tentang akting dan script. Para cast tersebut bermain cukup baik. Robert Downey Jr. masih menjadi Holmes yang sama seperti di film pendahulunya; ia tetap konyol, urakan, tetapi penuh perhitungan, cerdas, dan teliti. Tidak banyak juga yang berubah dengan Watson yang dibawakan Jude Law. Rachel McAdams yang kebagian main di beberapa scene di awal film sebagai Irene Adler juga masih sama dengan sebelumnya. Noomi Rapace, Stephen Fry, dan Kelly Reilly, di lain pihak, tidak begitu menunjukan karakter yang mencolok. Gw sedikit tertarik berbicara tentang Profesor Moriarty yang dibawakan Jared Harris—yang seinget gw, belum muncul di film Sherlock yang pertama (am I right?). Gaya dingin-tapi-menusuk yang dia bawakan cukup menarik. Setelah mengetahui ending film, gw agak prihatin dan penasaran dengan kelanjutan franchise Sherlock Holmes ini, tetapi somehow, kalo emang bakalan ada film-film Sherlock berikutnya, gw pengen dia ikut main lagi (entah bagaimana caranya).

Gw ga ngerti kenapa script writer di banyak film box office hobi banget nyisipin humor-humor ringan di dalam kerangka plot yang agak sulit dipersonalisasikan. Seperti di film ini, humor-humornya bisa gw katakan agak sedikit murahan. Sorry to sayRegardless dengan karakter Holmes yang memang di-set seperti itu, gw kurang suka dengan dialog-dialog yang terkesan kurang serius untuk menggambarkan plot detektif sekaliber Sherlock Holmes. Entah kenapa. Dan gw agak rindu dengan gaya pengamatan Holmes yang detil dan komprehensif yang cukup banyak hadir di film sebelumnya. Namun, alur cerita yang dibawakan tetapi menarik. Gw SUKA BANGET gaya perang-pemikiran ala diamond-cut-diamond antara Holmes dan Moriarty di akhir film. Itu KEREN. Emosi penonton juga bisa berhasil dimainkan dalam beberapa scene.

Guy Ritchie tetap mempertahankan gaya penceritaan yang bolak-balik dan khas dari series“Sherlock Holmes” bikinannya. Seperti tentang petikan-petikan metaforis ketika adegan perkelahian, perang pemikiran, kamuflase, dan yang terpenting, pengarakteran tiap tokoh yang konsisten. Bahkan gaya opening dan closing credit-nya pun tetap sama. Visual efeknya jangan ditanya. OK banget. Sinematografinya mungkin terkesan biasa saja, namun visual efeknya ini membantublocking gambar sehingga nampak artistik. Gw suka banget gaya tembak-tembakan menjelang akhir film. Agak slow-motion madness, tapi tetap cool apalagi bagi mata awam kayak gw.

Sebagai film box office, gw tetap mengapresiasi film ini sebagai kelanjutan yang (sayangnya) sama (banget) dengan pendahulunya. Sedikit modifikasi cerita dan penambahan karakter cukup breath-taking, tetapi misalkan Guy Ritchie ditampuk untuk membawakan series “Sherlock Holmes” berikutnya, plis, agak diubah “nuansa” filmnya. Kesamaan dengan pendahulu ini memang bukan berarti buruk—gw justru suka dengan karakter para tokoh yang konsisten serta gaya penyutradaraan dan visualisasi yang terlanjur melekat jadi ciri khas—tetapi biarkan penonton punya gambaran dan sudut pandang yang lebih luas sehingga eksplorasi tetap bisa dilakukan dengan mempertahankan ciri khas yang ada. Mungkin sudah bukan modusnya lagi membuat film bagus dengan hanya mengandalkan visual effect. “Sherlock Holmes: A Game of Shadows” mampu berbuat sedikit lebih baik akibat plotnya yang menarik.



treiler

Komentar